Kamis, 19 Maret 2009

makalah tenunan bima

TENUNAN BIMA



1. Pemintalan Benang
A. Pendahuluan
Sebagaimana daerah lain diIndonesia, Bima yang berada di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari dua daerah Otonomi yaitu ; Kota Bima dan Kabupaten Bima, di daerah ini terdapat industri kecil kerajinan (kerajinan menenun) yang bersifat home industri. Kegiatan menenun sampai abad ke 20 dikerjakan dengan bahan lokal yang bersumber pada “Safflower” (kapas) yang biasanya di tanam disekitar wilayah pemukiman penduduk baik di halaman maupun di daerah perkebunan sebagaimana tanaman yang sifatnya selingan. Pohon kapas sering ditanam pada akhir musim hujan dan dapat hidup bertahun tahun, bunga-bunga kapas yang dipetik dijemur beberapa hari sampai bisa mengembang dengan sempurna sampai terurai biji dan serat-serat kapasnya, kemudian dip roses dengan alat-alat yang sederhana. Jika dilihat dari kegiatan menenun orang Bima. Kegiatan menenun dilakukan setelah proses penanaman padi selesai sampai menunggu masa panen tiba. Sehingga mendorong dan memotivasi ibu-ibu untuk menenun dengan sungguh-sungguh sehingga kegiatan yang sudah masuk ketataran kegiatan yang bersifat intensif.
Pada zaman dahulu sekitar abad ke 18 dan 19 pekerjaan menenun biasanya banyak menghasilkan sarung dan kain yang bersifat lokal seperti tembe kafa nae, weri, pasapu muna dan lain-lain karena benang sangat sederhana, benang di peroleh dari kapas yang di tanam sendiri kemudian dipetik dan dijemur beberapa hari kemudian dip ital dan diuraikan dengan alat sederhana yang disebut lili (pemisah kapas dengan bijinya). Uniknya proses pemukulan kapas ini menghasilkan irama yang menarik untuk didengar, saling sahut menyahut antara rumah erumah, sebagai alas kapas yang dipukul adalah kulit kambing, kulit kuda atau kulut binatang lain yang disebut “Kapa Mbe’e atau Kapak Jara”

2. Celupan
Umumnya pulau sumbawa merupakan sumber bahan celupan dari dua tumbuhan disebut “ Nila (dau)” banyak terdapat dip agar-pagar rumah orang Bima dengan dominant warna Hitam kebiru-biruan. Celupan dan proses permintalan benang berlangsung puluhan tahun di Bima, akan tetapi dari hasil celupan ini mengalami perubahan karena telah ada vbahan celupan yang lebih memberikan perkembangan usaha pertenunan seperti Crayon, Acrilin, (arka Asam dan polyester) dengan perubahan ini tidak selurunya menghilangkan usaha tradisional namun secara sedikit demi sedikit dapat mengisihkan kegiatan tradisional menginggat kreatifitas dan produktivitas yang lebih menguntungkan. Diera moderen sekarang ini kegiatan celupan lokal ini masih ada disekitar daerah-daerah pedalaman seperti Donggo dan Ntonggu kabupaten Bima. Tetapi juga cara memberi warna dengan bahan-bahan alam, walaupn masyarakat setempat menggunakan bahan dasar alamiah yang tidak terlalu berbeda, melaluii pengetahuan yang baik secara kebetulan, pengalaman dan percobaan atau dengan cara diwariskan oleh orang tua, leluhur dalam keluarga besar misalnya :
a. Warna Biru Muda
Bahan yang digunakan adalah daunt arum, bahan potongan adalah kapur sirih, abu, buah kemiri menurut pengalaman bisanya 48 jam sampai 96 jam, kemudian di bubuhi sedikit kapur sirih, karangan yang terbaik adalah karangan gunung karena kurang mengandung garam.
Daun tarum di aduk, diremas sedemikian rupa sampai hancur, benang yang akan diwarnakan dimasukan bahan sari buah kemiri yang isinya ditumbuk halus maksudnya agar zat warna yang akan di campur nanti mudah diserap kedalam serat benang kemudian diangkat setelah kering dan ternyata warna biru ini belum sesuai dengan kehendak, maka proses pewarnaan dapat diulangi sekali lagi misalnya daunt arum yang tidak mencukupu lamanya waktu merendam yang belum cocok.



b. Warna Biru Tua
Bahan untuk membuat warna biru tua sama dengan membuat warna biru muda pada malam hari dibiarkan kena embun, sesudah benag direndang kedalam periuk tanah atau belangan berisi sari tarum, hasilnya warna benang akan menjadi biru tua.

c. Warna Hitam
Proses membuat warna hitam pada benang adalah merupakan kelanjutan dari warna biru muda dan biru tua, maka warna benang akan menjadi hitam, biru tua kemudian menjadi hitam membtuhkan waktu yang cukup lama.

d. Warna Coklat dan Merah
Warna coklat dan merah bahan dasarnya yang di gunakan alah kulit akar mengkudu, kulit pohon loba, dan daunnya yang kering ada yang menggunakan buah sirih dan kemiri, kulit mengkudu yang kering yang segar dapat digunakan, bahan lainnya seperti kulit loba, tepung kulit, mengkudu yang telah ditumbuk dimasukan kedalam periuk tanah, langkah berikutnya mencampurkan bahan menolong yang telah ditumbuk halus dan di aduk, direndam beberapa jam kemudian dijemur dimatahari sampai kering. Cara ini dapat dilakukan berulang-ulang samapai menghasilkan warna coklat atau merah yang dikehendaki.

e. Warna Kuning
Bahan dasar tradisional untuk memberi warna kuning pada benang tenun adalah kulit sejenis kayu yang menurut istilah setempat disebut kayu kuning, cara mewarnakan cara lain, di jemur d dan diulang proses yang sama beberapa kali.

3. Simbol Warna
Penenun bima, cenderung membuat tenunan dalam warna yang memiliki nilai popularitas yang lama berkesan, warna ini dihubungkan dengan keberuntungan lebih-lebih pada saat upacara pernikahan, ketika pengantin berbusana laksana ratu dan raja sehari, baju pengantin selalu berwarna merah. Selain warna merah warna merah dan dan keta tersebut adalah hasil penelitian dari peneliti jerman yang pernah tinggal lama di Bima dan pernah berkunjung ke Istana Sultan “Johanes Albert” pecinya alam dan penjelajah Jerman sekitar 1912, pada akhir warna-warna adalah adalah sebuah seni keindahan dan kesenangan sebagai perpaduan keinginan pribadi seseorang yang menghasilkan kepuasan di pelaminan warna selain itu warna putih pun mendominasi pakaian semua lembaga adapt di istana kerajaan disebut “Siki Lanta” yaitu paian dinas kerajaan jas tutup putih celana putih memakai sarung warna hitam atau biru dilengkapi weri, seni keta tetapi terkenal diminati sampai pertengahan abad ke 20
Kemudian dipadukan dengan warna “Bako” warna merah mudah dan berubah menjadi warna coklat ungu diartikan dengan pengendalikan dan kecerdasan. Bagi keluarga istana, warna kuning dan hijau diartikan dengan kesuburan hanya sebagai sebuah pendapat yang tidak perlu dipersoalkan.

4. Motif Sarung Bima
Keistimewaan dari tenunan Bima adalah menggunakan teknik hiasan dinding permadani untuk membuat motif segi enam yang besar pada pinggir kain “Salempa” yang dipakai mengelilingi pinggang atau diatas bahu. Hal ini membuktikan bahwa hubungan Bima dengan Jawa, walaupun pengetahuan orang Bima kurang disbanding dengan Sulawesi dan Bali “ Cheeks” (Ciri Khas) khusunya punya mereka sendiri. Cheeks dengan pita lebar yang berwarna merah secara kecil dan hemat disebut “Lopa” tukang tenun memperkenalkan garis panjang sempit sebagai “Penta” dan “Ngannto” dan berkenaan dengan panel dibelakang sebaya “Tinti”
Penel serupa dapat dilihat pada cheeks, bugis, dan jawa, pembeli dapat menampakan dan mengurangi motif dan corak yang da[at dimodifikasikan karena setiap bagian dari potongan yang cocock dapat dibagi kedalam bagian yang berbeda-beda dari cheeks. Tulisan dan hiasan tambahan lain (Buhlen dan Fischer 1979 : 159) perbedaan bahwa pola awal disebut Patola misalnya merupakan salah satu yang terpopuler dari seluruh kain impor dariIndia ke asia. Motif ini sering digunakan pinngir atau pola bagian tengah khususnya bagian belakang, sarung sebagaimana juga dengan melayu model dan susunanannya dari kelompok corak ini pada desain kain bima pada “Songket” dari melayu dan secara lokal dihubungkan dengan identitas muslim. Desain ini lebih menyerupai Tumpal di Indonesia walaupun motif segitiga barang kali lebih lama dikenal diasia tenggara walaupun motif lain seperti burung dan ayam yang ditambah bima. Kain lama dengan desain lama sering disimpan untuk represing masa-masa yang akan dating. Yang lebih menarik lagi adalah desain bunga merambat yang terkenal dengan bunga setako yang menjadi kenyataanya bahwa beberapa desain kain bima tidak ada gambar. Umat muslim tidak suka dengan patung dan berhala atau tempat-tempat pemujaan sebagaimana daerah lain seperti bali, di dalam seni ditumbuh suburkan Islam.

5. Wanita dan Tenunan
Tentu idientik dengan wanita karena di Bima kerjaan menenun dilakukan oleh ibu-ibu dan remaja putrid sehubungan dengan itu dijaman dulu apabila seorang wanita siap untuk dikwinkan maka lebih dahulu harus mampu menghasikan kain tenunan yang bagus mahir menenun dan memiliki peralatan tenun yang bagus dengan mendengarkan lentingan indah alat tenun yang dimainkan si gadis. Hasil tenun berupa sarung atau Salampe dijadikan sebagai alat perkenalan keduanya walaupun belum pernah berjumpa sebuah kisah pemuda yang ingin meminang seorang gadis membacakan sebuah sair ketika sang gadis sedang melakukan pekerjaan menenun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar